Kamis, 16 April 2009

Mengapa shalat khusyu sulit didapatkan ?

Allah menghedaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu, (Al Bagarah, 2: 185 )


Secara fitrah manusia menginginkan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan dalam hiddupnya. Peluang itu sebenarnya bisa
diraih kapan saja, tanpa harus bersusah payah mencari sesuatu yang berharga mahal untuk memenuhinya. Sering kita memahami
hal ini dengan paradigma keliru, bahwa kebahagiaan itu hanya bisa diraih dengan uang (materi) atau harus menjadi kaya terlebih
dahulu baru kita akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan. Pemahaman seperti ini sudah tentu mengalami distorsi makna.
Padahal kebahagiaan, ketenangan, cinta dan rindu bersifat sederhana dan konkrit. Potensi ini sebenarnya ada pada diri kita sendiri.
Banyak ( yang bingung mencari potensi tersebut atau menggunakan cara yang sulit untuk memperoleh. Anda telah membuktikan
dan merasakan ketika Anda mengalami cinta pertama. Bukankah mendapatkan keadaan itu tanpa perlu mencarinya dengan istilah
dan definisi dalam kamus bahasa pengetahuan. Cinta dan bahagia muncul dari dalam diri kita sebagai potensi yang paling asas
manusia. Terkadang ia muncul begitu saja memenuhi ruangan hati tanpa kita minta. Terkadang pula ia hilang lenyap tanpa jejak
sehingga sulit dicari kembali. Akhirnya kita mencoba keluar diri kita dengan cara bermacam-macam untuk menemukannya kembali.



Pertanyaan pertama yang muncul di benak kita adalah: "Mengapa shalat khusyu' sulit didapatkan?" Sementara di lain pihak, tak
terhitung banyaknya orang seluruh dunia, sejak ribuan tahun lalu, mengolah kerohaniannya dengan caranya masing-masing. Jadi
pasti ada sesuatu yang dapat mereka peroleh darinya. Bahkan beberapa teknik dianjurkan dalam bentuk yang berbeda oleh hampir
setiap agama dan sistem kepercayaan. Ummat Islam pun memiliki cara meditasi tersendiri, yaitu shalat yang memiliki gerakan dan
bacaan tertentu sebagai terapi mental spiritual dan kesehatan tubuh sehingga diharapkan memberi manfaat bagi pelakunya. Akan
tetapi jarang orang yang mampu mengungkapkannya sebagai sebuah pengetahuan praktis yang bersifat universal, bahwa shalat
merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan kedamaian, ketenangan dan keselamatan. Bukan hanya sekedar
mengatakan, bahwa shalat itu wajib hukumnya bagi orang Islam, tanpa mendalami maksud dan tujuan shalat dalam konteks
manfaatnya bagi manusia.
Sebagaimana banyak pelaku meditasi mengatakan bahwa di dalam bermeditasi terdapat perasaan pulang ke rumah (perasaan
nyaman), seolah-olah menemukan suatu benda berharga yang sempat hilang. Lawrence IeShan, dalam bukunya "Bagaimana
Bermeditasi" menyebutkan, bahwa kita bermeditasi untuk menemukan, merebut kembali kepada sesuatu dari diri kita yang secara
samar-samar dan tanpa sadar pernah menjadi milik kita dan hilang tanpa mengetahui apakah itu atau dimana atau kapan kita
kehilangan benda tersebut.7

Dan apakah sesuatu yang hilang dari kita itu?

la adalah kontak dengan potensi diri kita yang mungkin pernah kita miliki yaitu berupa ketenangan dan kebahagiaan. Semua
orang merindukan keadaan ini, baik orang kaya maupun miskin. Namun kadang-kadang kita tergoda dengan melakukan
kesenangan eksternal yang bersifat temporer dan tak akan berlangsung lama. Kita mencari ketenangan dengan biaya yang sangat
mahal untuk sekedar santai dan mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang. Kita Tdak pernah menyadari untuk memanfaatkan shalat
sebagai alat penolong, sumber hidup, penerang jiwa dan tempat kita bertanya tentang persoalan yang sulit dipecahkan. Akibatnya
kita tdak pernah mendengar jamaah di masjid memperbincangkan pengalaman shalat yang baru saja dilakukan. Sehabis shalat,
ekspresi mereka tampak datar dan hambar. Tidak menunjukkan keadaan hati yang sedang
berbahagia karena tersentuh cahaya Ilahi. Berbeda dengan para pelaku meditasi. Ekspresi mereka menunjukkan adanya
kebahagiaan dan perasaan nyaman, sehingga mereka pun ketagihan untuk mengulang kembali meditasi yang telah membawanya
ke dalam diri yang hening dan damai.


Meditasi telah diminati oleh banyak orang diberbagai negara maju maupun berkembang, temasuk di Indonesia, karena dirasakan
langsung ada manfaatnya. Meditasi telah menjadi sebuah solusi yang handal untuk menjawab persoalan kehidupan masyarakat
modern di barat. Banyak kajian-kajian ilmiah mengenai psikologi transendental yang telah diteliti oleh para ilmuwan dari efek
meditasi, misalnya dalam penyembuhan pasien yang mengalami gangguan stress.

Sungguh menakjubkan bila kita tahu betapa banyaknya waktu yang digunakan orang untuk mendapat pengetahuan mengenai
cara mencapai kebahagiaan jiwa yang hakiki (ekstasis). Para penganut aliran Jung berpendapat, bahwa dengan penyatuan dari ego
jantan dan ego betina, animus dan anima, maka didapatkan kenyataan jiwa yang tidak pecah.

Apakah diakui atau tidak, kebanyakan orang Islam pun terlibat dalam sebuah pencarian yang melelahkan untuk memperoleh hal
sama (ekstasis), yaitu sebuah kekhusyu'an. Sayangnya, sampai kini tidak banyak sarjana muslim yang berani membicarakannya
secara objektif. Mungkin karena mereka sudah menganggap shalat sebagai ibadah mahdhah yang tidak boleh disentuh oleh kajian
ilmiah yang bersifat apa adanya. Di lain pihak, banyak juga orang yang mengatakan bahwa khusyu' hanya bisa dilakukan oleh orangorang
terpilih saja, seperti para Nabi dan wali-wali Allah. Kita hanya diperintahkan untuk memenuhi kewajiban bukan disuruh
melakukannya dengan khusyu'. Yang terpenting syarat rukunnya sah, nanti diakhirat akan didapatkan pahala yang melimpah. Kalau
sudah berpendapat seperti ini, sulit bagi kita untuk membahas persoalan khusyu' dari sisi psikologi, yang barangkali merupakan akar
persoalan kegagalan kita dalam shalat. Seperti halnya perintah membaca Al Qur'an dibulan Ramadhan (tadarus), kita merasa
bangga kalau kita telah membacanya sebanyak tiga puluh juz. Sementara kita melupakan, bahwa perintah membaca Al Qur'an itu
bukanlah sekedar mengejar target bersyair dan berlomba paduan suara, akan tetapi untuk dikaji (mengaji) dan dilaksanakan.
Perintah membaca Al Qur'an merupakan kewajiban pertama dan merupakan jendela ilmu yang akan kita raih dari kandungan setiap
ayatnya. Kita banyak berhenti pada kalimat perintah awal tanpa ingin mengetahui mengapa kita diperintahkan untuk itu. Prinsip ini
mempengaruhi kultur masyarakat kita terhadap etos kerja dan belajar yang amat rendah.


Syariat shalat telah menjadi bagian aktivitas yang menjemukan, bukan menjadi seperti apa yang dikatakan oleh Nabi sebagai
tempat istirahatnya jiwa dan tubuh, sebagaimana sabda beliau: "Wahai Bilal jadikanlah shalat sebagai istirahatmu". Berbeda dengan
prinsip yang telah kita jalani selama ini, bahwa shalat merupakan sesuatu yang membebani. Kita akan merasa lega dan terbebas
dari beban itu setelah kita mengucapkan salam di akhir shalat. Terkadang jadi amat lucu mendengar seseorang ketika diajak shalat
mengatakan: "Ah nanti saja shalatnya kalau pikiranku sudah tenang". Hal ini menunjukkan bahwa shalat sudah merupakan bagian
rutinitas yang amat membebani hidup. Shalat bukan lagi bagian dari kebutuhan ruhani selayaknya orang butuh istirahat (rileks) di
gunung, di pub atau rekreasi di pantai untuk mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang. Barangkali pelatihan shalat yang akan saya
utarakan nanti akan bisa membantu memasuki pengalaman (experience) yang menyenangkan dan bisa dirasakan manfaatnya
secara langsung. Insya Allah.


Kita tidak pernah
menyadari untuk
memanfaatkan shalat
sebagai alat penolong,
sumber hidup, penerang
jiwa & tempat kita
bertanya tentang
persoalan yang sulit
dipecahkan.





Related Posts sesuai kategori



0 komentar: