Minggu, 29 November 2009

terapi identifikasi

Terapi Identifikasi


Abstrak



Pada dasarnya, Terapi Identifikasi berpijak pada berbagai psikoterapi yang berkembang selama ini. Kemudian asumsi teoritis yang telah ada tersebut dikembangkan berdasarkan langkah-langkah terapeutik yang telah terbukti melalui penelitian maupun berdasarkan pengalaman para ahli dalam memberikan layanan psikoterapi pada penderita psikosis afektif. Lebih dari itu, jenis terapi ini disusun berdasarkan pengalaman langsung penulis dalam mengatasi gangguan psikosis yang diderita selama lebih dari tiga tahun.


Terapi Identifikasi ini dikembangkan berdasarkan landasan pemikiran dalam RET, terapi kognitif, dan beberapa terapi Transpersonal-Islam yang diarahkan kepada pencapaian insight klien dalam mengatasi gangguan psikosis. Terapi Transpersonal-Islam adalah sintesis konsepsi yang diterapkan oleh penulis dalam pengalamannya mengatasi gangguan psikosis, yaitu mencakup tafakkur, do’a, muhasabah, dan tadabbur al-Qur’an. Sistematika yang disusun diharapkan dapat diaplikasikan secara sistematis dan sekuensial dalam proses psikoterapi.


Pada akhirnya, sistematika tersebut mencakup proses reedukasi kompetensi kognitif klien yang diarahkan secara didaktif dan direktif oleh seorang terapis, karena penderita umumnya membutuhkan figur yang kredibel untuk membantunya dalam mencapai insight itu. Walaupun sistematika ini akan menggabungkan beberapa pendekatan kontemporer, namun aspek fundamental adalah pada proses identifikasi gejala-gejala psikosis yang diderita oleh klien dan disadarinya secara penuh untuk kemudian mencari problem solving dari permasalahan itu. Landasan filosofis klien adalah melalui aktivasi SQ dan EQ yang tepat, kontinu, dan elaboratif. Terakhir, dengan mudah terapis akan memunculkan insight klien tentang pola-pola respon permasalahan yang lebih sehat dan adaptif dalam kehidupannya.


Ide Utama Terapi Identifikasi

Pada dasarnya, Terapi Identifikasi berpijak pada berbagai psikoterapi yang berkembang selama ini. Kemudian asumsi teoritis yang telah ada tersebut dikembangkan berdasarkan langkah-langkah terapeutik yang telah terbukti melalui penelitian maupun berdasarkan pengalaman para ahli dalam memberikan layanan psikoterapi pada penderita psikosis. Lebih dari itu, jenis terapi ini disusun berdasarkan pengalaman langsung penulis dalam mengatasi gangguan psikosis afektif yang diderita selama lebih dari tiga tahun.



Asumsi dasar Terapi Identifikasi ada dua prinsip. Pertama, gangguan psikologis disebabkan oleh pola respon stimulus intrinsik dan ekstrinsik yang malasuai. Hal itu menjadi penyebab utama gangguan psikologis yang berat (psikosis) dan sebagian ganggaun psikologis ringan (non-psikosis). Oleh karena itu, jika individu terlanjur memiliki perspektif dan kepribadian yang malasuai maka terapis harus mengubah cara pandang yang salah tersebut. Kedua, membangkitkan kompetensi kognitif klien untuk mampu berpikir secara rasional untuk menyangkal halusinasinya dan membawa klien kembali kepada dunia penginderaan dan perasaan yang nyata. Hal itu berarti bahwa untuk meyakinkan klien tentang segala sesuatu pengalaman halusinasinya adalah palsu. Oleh karena itu, aspek psikologis yang perlu dibangkitkan dalam diri klien adalah kompetensi kognitifnya untuk menyangkal halusinasi itu secara logis.


Teknik tersebut terbukti efektif diterapkan pada kasus John Nash (ahli matematika, dalam film A Beatiful Mind)), pasien dr. Milton Rokeach di RS Ypsilanti Amerika Serikat, dan penulis sendiri. Khusus pada contoh kasus yang dihadapi oleh Dokter Milton Rokeach menunjukkan keberhasilan penanganan pada pasien skizofrenik. Meskipun ia menerapkan metode sistematik yang berbeda, akan tetapi ide pokoknya sama dengan teknik Terapi Identifikasi*.


Setiap gejala halusinasi penderita psikosis memiliki indikasi terpola dan repetitif. Oleh karena itu, pengalaman halusinasi klien dielaborasi untuk diidentifikasi secara didaktif, direktif, dan dialogis oleh bantuan seorang terapis. Setelah klien berhasil mengatasi hal itu maka terapis kembali mengidentifikasi gejala-gejala lain untuk diatasi dalam proses terapeutik selanjutnya.


Akan tetapi, terapis tidak akan mempu membawa klien ke arah itu jika terapis hanya mengandalkan fase konfrontir yang memaksakan kompetensi kognitif terapis melalui konseling atau teknik psikoterapi tertentu. Dunia psikosis adalah sebuah dimensi terpecahnya kompetensi kognitif yang disebabkan oleh kebingungan untuk mencari solusi dari permasalahan psikologis. Hal itu bahkan menjadi lebih sulit karena adanya gejala halusinasi. Halusinasi itu kemudian membawa klien semakin jauh dari solusi yang sebenarnya karena ia telah dipengaruhi oleh penginderaan dan perasaan yang palsu. Dalam analisis yang lebih mendalam, ia akan semakin sulit untuk membedakan yang benar dan salah, atau yang palsu (halusinasi) dan nyata dari apa yang dialaminya. Oleh karena itu, terapis harus memasuki kompetensi kognitif klien—yang pasti berbeda dengan kompetensi kognitif terapis—untuk dapat meyakinkan diri klien sendiri bahwa pengalaman halusinasi itu adalah palsu. Oleh karena itu, terapis harus mengenali sudut kognitif klien yang menonjol. Misalnya sudut kognitif pada aspek pemahaman, analisis, dll.


Gangguan psikosis yang pada umumnya berakar dari ketidakmampuan mengatasi permasalahan secara logis dan tepat—dalam standar perangkat psikologis yang sehat, maka berakibat pada gangguan yang lebih parah jika klien terbawa dan yakin terhadap halusinasinya. Semakin klien terbawa dalam gejala psikosisnya maka semakin mundur kompetensi kognitifnya untuk bisa menganalisis dan mengevaluasi gejala-gejalanya sendiri. Oleh karena itu, terapis harus mampu mengoptimalkan kompetensi kognitif klien secara dialogis dalam proses Terapi Identifikasi.


Terapi Identifikasi ini dikembangkan berdasarkan landasan pemikiran dalam RET, terapi kognitif, dan beberapa terapi Transpersonal-Islam yang diarahkan kepada pencapaian insight klien dalam mengatasi gangguan psikosis. Landasan utama pendekatan Islaminya adalah mengulang-ulang (repetitive) tafakkur, muhasabah, tadabbur Qur’an, dan doa yang khusu’ dalam fase-fase psikoterapi. Sistematika yang disusun diharapkan dapat diaplikasikan secara sistematis dan sekuensial dalam proses psikoterapi. Sistematika itu mencakup proses reedukasi kompetensi kognitif klien yang diarahkan secara didaktif dan direktif oleh seorang terapis, karena penderita umumnya membutuhkan figur yang kredibel untuk membantunya dalam mencapai insight itu. Kemudian, sistematika ini akan menggabungkan beberapa pendekatan kontemporer, namun aspek fundamental adalah pada proses identifikasi gejala-gejala psikosis yang diderita oleh klien dan disadari secara penuh untuk kemudian mencari problem solving dari permasalahan itu. Terakhir, dengan mudah terapis akan memunculkan insight klien tentang pola-pola respon permasalahan yang lebih sehat dan adaptif dalam kehidupannya.


Pada sesi terakhir dalam proses Terapi Identifikasi adalah proses internalisasi oleh terapis agar klien mengupayakan preservasi kondisi mental yang sehat melalui aktivasi aspek Emotional Quotient (EQ) dan Spiritual Quotient (SQ) yang berkesinambungan. Jika klien berhasil—minimal—mempertahankan aspek EQ dan SQ menjadi kerangka-filosofisnya dalam merespon setiap permasalahan, maka klien akan dapat meningkatkan kemampuan EQ dan SQ secara gradual dalam perkembangan psikologisnya. Dengan otomatis, klien terlepas dari ketidakberdayaannya terhadap stimulasi psikologis yang dipandang mengancam, baik bersifat intrinsik, maupun ekstrinsik.







Langkah-Langkah Psikoterapi

Terapi Identifikasi*

I. Wawancara awal

Dari wawancara awal ini akan diketahui apa saja yang menjadi permasalahan ataupun keluhan klien. Jika klien mengalami kondisi putusnya kontak dengan realitas, maka penulis menyarankan sebaiknya adanya koordinasi dengan psikiater untuk mendapatkan pendekatan psikofarmakologis. Karena penulis membagi kemampuan penderita psikosis untuk melakukan kontak dengan realitas/lingkungan atas tiga fase, yaitu:

1. Fase Terputus (Black Phase), yaitu samasekali tidak ada; kemampuan kontak sangat kecil; tidak mampu kontak dengan realitas atau lingkungan yang nyata, yaitu hanya mampu kontak dengan persentase 1-20 %.

2. Fase Transisi (Gray Phase), yaitu klien masih dapat diajak berkomunikasi dan memahami instruksi dengan persentase 21-50 %.

3. Fase Kontak (White Phase), klien telah mampu melakukan kontak dan kooperatif dengan lingkungan, yaitu kemampuan kontak dengan persentase 51-70 %.


Dengan bantuan psikofarmakologis maka diharapkan klien dapat memasuki fase transisi lebih cepat dibandingkan tanpa bantuan obat. Dengan kata lain, apabila klien masih berada dalam fase terputus maka dimensi psikoterapi psikologis-spiritual akan cenderung tidak efektif.


Dalam ta­hap pertama ini perlu juga dikemukakan tentang apa yang akan terjadi selama terapi berlangsung. Aturan-aturan apa saja yang perlu diketahui oleh klien. Apa yang akan dila­kukan terapis dan apa yang diharapkan dari klien perlu diungkapkan pula. Tugas terapis adalah memberikan per­hatian penuh dan mendengarkan dengan seksama apa yang diungkapkan oleh klien. Tugas klien adalah mence­ritakan semuanya pada terapis. Jangan sampai terbalik bahwa terapis yang banyak bicara dan klien yang mende­ngarkan. Hal ini sering terjadi di Indonesia karena terapis dianggap paling tahu dan menganggap dirinya demikian sehingga ia yang banyak bicara, misalnya memberi nasihat, dan klien hanya mendengarkan saja. Kalau sampai terjadi seperti ini berarti interaksi bukan merupakan proses psiko­terapi, tetapi konsultasi.


Dalam tahap ini yang penting lagi adalah adanya per­sekutuan antara klien dengan terapisnya untuk melawan masalah yang dihadapi klien. Supaya terjadi hubungan ini tentunya perlu dibina rapport, yaitu hubungan yang menimbulkan keyakinan dan kepercayaan klien bahwa ia akan dapat ditolong. Tanpa rasa ini klien akan lari sebe­lum mulai. Terapi tidak akan dapat berjalan seperti yang diharapkan.


Selain itu perlu juga dikembangkan komitmen klien untuk menjalankan perannya sebagai klien. la harus ber­sedia untuk mengutarakan pikiran dan perasaannya tan­pa diseleksi. la bersedia mengkomunikasikan pengalaman-­pengalamannya sekaligus mengkajinya.


Kerja sama yang baik antara klien dan terapis perlu dibina di sini. Kontrak terapiutik perlu pula dikemukakan di tahap ini. Termasuk di dalamnya adalah persetujuan antara tu­gas klien dan tugas terapis. Kapan dan di mana terapi dilakukan dan berapa lama. Juga perlu dikemukakan di sini tujuan yang akan dicapai oleh klien dalam terapi. Perlu pula dikemukakan keterbatasan terapi. Apa yang dapat dijanjikan terapis dan apa yang dapat diharapkan oleh klien. Hal ini penting dikemukakan karena terapi tidak menjanjikan secara pasti hasilnya. Untuk meyakinkan klien perlu dikemukakan keberhasilan yang telah dialami terapis untuk kasus-kasus yang sama. Selain itu, dapat juga dikemu­kakan hasil penelitian tentang efektivitas pendekatan yang digunakan terapis pada klien.


II. Proses Terapi

Dalam memulai psikoterapi-psikologis yang menggunakan Terapi Identifikasi, maka klien minimal harus memasuki fase transisi karena jika klien masih berada dalam fase terputus maka instruksi-komunikatif tidak akan efektif terhadap klien. Dengan bantuan psikofarmakologis maka diharapkan klien dapat memasuki fase transisi lebih cepat dibandingkan tanpa bantuan obat. Dengan kata lain, apabila klien masih berada dalam fase terputus maka dimensi psikoterapi psikologis-spiritual dalam Terapi Identifikasi tidak akan berhasil.


Pada Fase Transisi, terapis harus berhasil meyakinkan klien tentang kepalsuan atau ketidak-nyataan halusinasinya. Teknik sederhana meyakinkan klien bahwa halusinasinya tidak nyata adalah dengan cara mengkonfrontir halusinasi klien menurut kompetensi kognitifnya yang harus ditonjolkan. Misalnya, suatu halusinasi tentang keberadaan kecenderungan bunuh diri dapat dijabarkan melalui lima ranah kognitif sebagai berikut.

1. Pengetahuan, mencakup aspek fakta, kaidah, dan prinsip. Bunuh diri adalah suatu konsep yang bertentangan dengan fakta, kaidah dan prinsip moral dan sosial. Oleh karena itu, klien harus diyakinkan bahwa perintah bunuh diri itu adalah berasal dari suatu dimensi yang salah karena bunuh diri bertentangan dengan tiga aspek fundamental itu.

2. Pemahaman, mencakup aspek menguraikan, mengubah suatu konsep/data ke konsep/data lain. Contoh, suara atau tokoh yang memerintahkan untuk bunuh diri adalah suatu instruksi yang berasal dari dimensi yang tidak nyata. Untuk mengkonfrontir itu, mintalah klien untuk menceritakan secara lengkap tentang subjek halusinasinya, kemudian terapis temukan pola-pola yang realistik yang menggambarkan bahwa halusinasi itu salah dan irasional. Misal, subjek halusinasinya berupa perempuan, sedangkan perempuan (halusinasi itu) merupakan manifestasi dari precipitating eventnya, jika subjek mengalami pencetus dari perempuan. Atau lihat kasus John Nash. Ia mengatakan,”Ia tidak pernah tumbuh.”

3. Penerapan, mencakup menerapkan prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah yang sudah dibahas dalam psikoterapi. Tahap aplikasi ini merupakan sebuah tahap yang vital dan klien harus mendapatkan kontrol yang tepat dari lingkungan agar ia merasa bertanggung-jawab untuk melaksanakannya. Ia harus mendapat kontrol dalam memahami bahwa bunuh diri merupakan suatu dorongan yang harus dicegah semaksimal mungkin. Hal itu harus mendapat dukungan dari lingkungan, terutama diri klien sendiri.

4. Analisis, yaitu mencakup satu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami. Kecenderungan halusinasi bunuh diri dapat dianalisis secara logis kepada klien. Jabarkan pola kehidupan klien yang mencetuskan gangguannya, yaitu latar belakang hidupnya sejak kecil hingga muncul gangguan. Kemudian identifikasi gangguan beserta simtomnya. Yakinkan klien bahwa halusinasi bunuh dirinya merupakan manifestasi dari alam bawah sadarnya tentang kecemasan yang tinggi tentang kehidupan ini sehingga dorongan bunuh diri sangat kuat.

5. Evaluasi, yaitu mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat dengan mempertanggung-jawabkan pendapat itu berdasarkan prinsip yang benar. Arahkan klien untuk membuat suatu evaluasi bahwa bunuh diri merupakan suatu pendapat yang salah karena ia berasal dari “dimensi” yang salah. Lagipula, pendapat yang lebih tepat adalah ciptakan pola-pola responsif terhadap stimulus yang lebih adaptif dan sehat dalam pandangan psikologis-spiritual.


Banyak intervensi yang dilakukan oleh terapis. Su­paya terjadi komunikasi yang mengalir dengan baik perlu dilakukan beberapa hal, yaitu mengkaji pengalaman klien, menggali pengalaman masa lalu kalau itu memang relevansi dengan keluhan klien. Hal penting lainnya adalah meng­kaji hubungan antara terapis dan klien saat ini dan di sini. Selain itu perlu juga dilakukan pengenalan, penjelasan, dan pengartian perasaan dan arti-arti pribadi pengalaman klien. Semua ini termasuk intervensi yang dilakukan terapis yang akan dikemukakan di bawah nanti.


Dalam proses terapi inilah terapis mulai memasukkan nilai-nilai filsafat-spiritual dan kerangka psikologis yang sehat. Terapis memberikan tugas kepada klien untuk mengaplikasikannya dalam aktivitas sehari-hari. Beberapa metode terapi Islam yang efektif adalah sebagai berikut.

1. Shalat
Shalat dapat menimbulkan kesadaran penuh tentang identitas-diri yang dapat berperan sebagai upaya kuratif bagi abnormalitas, bahkan efektif pada fase preventif (al-Ankabut:45) Korelasi positif antara shalat dan identitas-diri dapat diinterpretasikan dalam dua hal sebagai berikut.


a. Identitas-diri secara lahiriah.
Gerakan-gerakan dalam aktivitas-spiritual shalat merupakan refleksi dari identitas-diri secara lahiriah. Gerakan shalat yang dimulai dengan niat—kami lebih cenderung mengambil pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa niat merupakan bagian mutlak dalam shalat, gerakan berdiri dengan keadaan tangan bersedekap pada perut dan menghadap kiblat, kemudian gerakan ruku’, gerakan i’tidal, lalu gerakan sujud, duduk antara dua sujud, hingga diakhiri dengan salam merupakan serangkaian aktifitas spritual yang mencerminkan identitas-diri sebagai hamba/abd. Terutama gerakan ruku’ dan sujud yang bermakna bahwa pelaku shalat ialah makhluk yang lemah, tak berdaya, rendah, dan mengharapkan rahmat dan karunia dari Dzat Yang Maha Agung yang disembah. Dengan kata lain, pelaku aktivitas-spiritual shalat seakan-akan menjelaskan kepada orang disekitarnya bahwa ia adalah seorang hamba yang rendah dan mengharapkan pertolongan dan perlindungan dari Dzat Yang Maha Kuasa.

b. Identitas-diri secara batiniah
Menurut para ulama, setiap gerakan shalat memiliki makna yang khas sesuai dengan yang tercantum dalam ikhtisar identitas-diri secara lahiriah. Lebih dari itu, aktifitas-spiritual shalat akan mendatangkan makna identitas-diri yang lebih hakiki.


Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa kita dapat melihat Allah secara ihsan apabila beribadah shalat dengan khusuk (Riyadhussalihin Jilid 2, hal 147). Hadits itu bermakna bahwa dengan shalat, maka hati yang Ihsan akan merasakan kehadiran Allah. Kemudian, para eksponen tasawuf/kaum sufistik—kaum orientalis cenderung menyebut orang sufi sebagai aliran mistisisme—menjelaskan ekstensifikasi makna dari shalat. Ibnu ‘Athaillah dalam Kitab Al-Hikam-nya mengatakan bahwa shalat adalah sebagai penyucian hati dan pembuka alam gaib. Imam Al Ghazali (Ihya ‘Ulumuddin) menerangkan tentang konsep tazkiyatun-nafs—Penyucian Jiwa—salah satunya adalah dengan mendirikan shalat. Jadi, shalat merupakan aktivitas-spiritual yang fundamental dalam menjelaskan identitas diri secara batiniah, yaitu pengenalan diri secara utuh karena merasakan kehadiran Allah dalam konsep batiniah.

Begitu luas manfaat yang bisa ditelaah dari aktivitas-spiritual shalat sebagai salah satu metode-konstruktif personal sehingga penulis tidak akan mampu melampirkan secara sempurna dalam teks yang sederhana ini.

2. Dzikir

Beberapa manfaat dzikir bagi kesehatan jiwa dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Menjaga alam kejiwaan dari dorongan-dorongan negatif.

b. Perjanjian kepada Allah swt. untuk senantiasa mengakui keberadaan-Nya dalam setiap relung hati seorang hamba.

c. Menjadikan hati senantiasa waspada dan taat (wara’).

d. Melatih konsentrasi terhadap suatu hal.

e. Sugesti-diri agar menjadi lebih percaya diri.

f. Menanamkan rasa rendah hati.

g. Tawakal kepada Allah swt.

Mengenai jenis dzikir berdasarkan cara pengucapannya, para ulama sepakat bahwa pengucapan dzikir terbagi atas dua macam, yaitu sebagai berikut.

1. Dzikir keras atau bersuara (jali).

Dzikir jali merupakan ucapan suatu kalimat dzikir—tasbih, tahmid, tahlil, dll— dengan bersuara, akan tetapi tidak terlalu keras.

2. Dzikir hati (khafi).

Dzikir khafi merupakan ucapan suatu kalimat dzikir tanpa bersuara, melainkan diucapkan dalam hati.

3. Muhasabah
Metode kuratif bagi penderita adalah menyediakan waktu untuk menghitung diri. Paling tidak instruksikan kepada klien untuk membuat jadwal tertentu dalam satu hari, misalnya setelah shalat Isya untuk muhasabah sedikitnya 10-15 menit.

4. Tafakkur

Tafakkur; memikirkan; merenungkan segala sesuatu tentang kebesaran dan kemurahan Allah swt adalah metode yang sangat efektif dalam mengatasi gangguan psikologis. Metode tafakkkur sangat efektif untuk mengaktivasi husnudhon (positive thinking) dan qana’ah (merasa cukup. pen) tentang kehidupan. Kombinasikan metode tafakkur dan muhasabah dalam waktu yang berdekatan atau disatukan dalam waktu total 20 menit. Setelah itu, akhiri dengan doa yang khusyu’.

5. Tadabbur Qur’an

Upaya mempelajari dan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an adalah metode Islami lainnya yang sangat efektif. Membaca al-Qur’an 3 ayat dengan memahami artinya jauh lebih efektif bagi proses kuratif dibandingkan membaca 30 ayat al-Qur’an tetapi tidak memahami artinya.


III. Pengertian ke Tindakan


Tahap ini dilaksanakan pada saat menjelang terapi berakhir. Di sini terapis mengkaji bersama klien tentang apa yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung. Kemudian apa yang telah diketahui klien akan diterapkan dalam kehidupannya nanti. Apakah pengetahuannya ini akan diterapkan ke dalam perilakunya sehari-hari perlu didiskusikan dengan klien dalam tahap ini. Hal ini sangat penting dilakukan supaya tujuan terapi yang telah dise­tujui bersama dengan jelas telah tercapai.


IV. Mengakhiri Terapi


Terapi dapat berakhir kalau tujuan telah tercapai. Tetapi, terapi dapat pula berakhir kalau klien tidak melanjutkan terapi. Demikian pula terapis dapat mengakhiri te­rapi kalau ia tidak dapat lagi menolong kliennya. la mung­kin perlu merujuk pada ahli lain. Beberapa pertemuan se­belum pengakhiran terapi, klien perlu diberi tahu. Hal ini penting karena klien akan menghadapi lingkungannya nanti sendiri tanpa bantuan terapis. Ketergantungannya kepada terapis selama ini sedikit demi sedikit harus dihilangkan dengan menumbuhkan kemandirian klien. Untuk itu perlu disiapkan dengan baik jauh sebelumnya.


Dalam mengakhiri terapi, terapis sebaiknya menekankan kepada klien untuk mempertahankan pola-pola hidup psikologis-spiritual yang sehat. Konsep-konsep pola tersebut yang selama ini telah didapatkan dalam proses psikoterapi harus dipertahankan dalam kehidupannya. Dengan kata lain, pembentukan SQ dan EQ yang ajeg adalah melalui aplikasi metode dalam psikoterapi secara berulang-ulang sehingga perilakunya akan jauh lebih baik atau sehat (akhlakul karimah akan terbentuk. pen) dibandingkan dirinya pada waktu lalu.



Kesimpulan


Ide utama dari Terapi Identifikasi adalah mengembalikan perspektif klien ke arah paradigma psikologis-spiritual yang sehat. Perilaku yang malasuai dapat mengakibatkan depresi. Lebih jauh lagi, psikosis adalah dimensi terdalam dari dunia depresi. Oleh karena itu, untuk mengembalikan klien ke arah kerangka filosofis psikologis-spiritual yang sehat adalah dengan teknik konfrontir yang tepat melalui ranah kognitif klien.


Akses akhir dari teknik terapi ini adalah pembentukan pola-pola respon perilaku yang sehat dan adaptif, baik dalam kriteria psikologi maupun spiritual. Dengan kata lain, target bersama antara terapis dan klien melalui re-edukasi kepribadian baru. Hal itu mengarah kepada pembentukan perilaku atau akhlak yang lebih baik melalui kesatuan konsep pemahaman yang benar tentang psikologis-spiritual. Selanjutnya, konsep tersebut harus dilakukan mulai proses psikoterapi dimulai dan dilaksanakan (diamalkan) secara kontinu dalam keseharian klien.



Sumber Bacaan

Corey, G. 1999. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi (terjemahan). Bandung: Refika Aditama

Hidayat, B. 2002. Dialektika Psikologi dan Pandangan Islam. Pekanbaru: UNRI Press.

Nash, J. 2002. A Beautiful Mind. Film. Warner Bross.

Nawawi, I. 1996. Riyadhush Shalihin (terjemahan). Jakarta: Pustaka Amani.

Prawitasari, J. et. al. 2002. Psikoterapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Supratiknya, A. 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta: Kanisius

Winkel, W. S. 2004. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi


* Konon, di sebuah Rumah sakit Jiwa di Ypsilanti, Amerika Serikat, pernah dirawat tiga penderita skizofrenia yang berbeda usia namun memiliki gejala skizofrenik yang sama. Mereka merasa sebagai reinkarnasi dari Yesus Kristus. Dokter Milton Rokeach berusaha meruntuhkan delusi tersebut melalui teknik konfrontasi yang sederhana. Mereka dirawat bersama-sama, dirawat di ruangan yang sama, makan di satu meja, mengerjakan tugas bersama-sama, dsb. Intinya mereka berusaha diyakinkan bahwa keyakinan reinkarnasi itu tidak benar, termasuk menumbuhkan kesadaran bahwa mustahil ada tiga orang Yesus Kristus sekaligus dalam satu kamar. Usaha ini terbukti berhasil, bahkan penderita yang berusia paling muda sembuh secara total. Padahal prediksi sebelumnya adalah prognosis-negatif (kecil kemungkinan untuk sembuh). Lihat Mengenal Perilaku Abnormal, Supratiknya (1995: 75).

* Langkah-langkah psikoterapi ini merupakan sintesis antara tulisan Prawitasari (2002:10) dalam buku yang berjudul Psikoterapi, pandangan penulis, dan referensi lain (lihat kepustakaan).

Related Posts sesuai kategori



0 komentar: